About Me

My photo
Movie-goer, anime maniac, manga lover, K-Music+J'Music's fan, Asia Movier.

Monday, October 12, 2009

Saya Sakit Hati

Ini Freya yang kirim, bukan Moci loh.

Moci udah nggak peduli lagi sama blog ini wakakaka, tapi dia selalu setia posting cerpen di blognya kok. Pergi aja ke blognya. Tinggal klik nama dia di atas pojok template.

Hmmmm...tujuan saya nulis di sini, tak lain untuk menunjukkan rasa sakit hati saya. Pertama-tama, izinkan saya untuk mengatakan background terbuatnya blog ini. Ya, blog ini dibuat dari ide saya karena terus terang saya ini orangnya pemalas. Saya punya banyak ide cerpen, tapi sangat malas untuk membuatnya. Kebanyakan cerpen saya model cerpen yang ada di bawah ini. Model setengah jadi. Dan awalnya, saya harap dengan adanya blog ini, maka saya akan semakin terpacu untuk menghasilkan cerpen. Nyatanya, sama aja hahaha. Saya masih malas membuat cerpen.

Padahal, moci udah mendorong saya habis-habisan untuk meneruskan blog ini karena tanpa promosi sama sekali, follower blog cerpen ini malah semakin bertambah, nyaris mendekati follower blog asli saya yang umurnya jauh lebih tua dari blog ini. Yah, tapi apa daya. Saya memang pemalas orangnya. Cerpen-cerpen saya banyak yang tidak selesai.

Tapi tumben, belakangan saya menyelesaikan dua cerpen sekaligus. Saya yang mempunyai kerinduan untuk memberi penghiburan bagi anda sekalian, ingin sekali mengirimkan cerpen saya di sini. Tapi entah kenapa, sesuatu di dalam hati melarang saya melakukannya. Saya juga nggak ngerti kenapa hati saya merasa nggak damai melakukannya.

Kira-kira dua hari kemarin, nggak sengaja saya otak-atik search google engine dan menemukan satu blog yang memuat sebuah cerpen. Saya kaget sekali karena terlalu banyak 'kebetulan' yang tidak wajar di dalam cerpen tersebut. Memang inti ceritanya sama sekali berbeda, dan mungkin memang 100% kebetulan sama. Tapi, kalau terlalu banyak kebetulan apa namanya dong? Dimulai dari judul yang tidak nyambung sama isi cerpen, lalu kata-kata paragraf pertama yang mirip dengan isi cerpen saya dan juga sedikit cuplikan dari kisah hidup saya yang pernah saya tulis di blog satunya.

Ini bukan satu-dua kali saya menemukan copycat. Bohong kalau saya bilang tidak sakit hati menemukan copycat atau orang-orang yang memodifikasi cerita, dengan mengambil inti cerita saya, lalu mereka memakai kata-kata mereka sendiri. Saya tidak butuh 'credit' dan penghargaan dan sebagainya, tapi buat saya...tokoh-tokoh cerpen saya itu hidup. Mereka adalah anak-anakku yang tiap namanya pun saya pikirkan baik-baik. Tanya saudara saya, Ellious Grinsant (link ada di blog saya). Tanya dia bagaimana proses saya membuat sebuah cerita. Saya pasti harus selalu bertanya pada dia, tentang nama-nama yang bagus untuk tokoh cerpen saya. Semua namanya harus sesuai dengan jiwa tokoh-tokohnya. Tentu saya tidak bisa asal comot nama begitu saja. Proses ini sendiri pun bisa memakan waktu berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan.

Lalu, bagaimana jika nama Lara diganti menjadi Wati, dengan cerita yang sama dan plot yang sama? Pasti beda rasanya.

Ya, saya tahu, mungkin di mata kalian saya adalah penulis amatir yang sok dan belagu. Tapi jujur, saya tidak bisa menghilangkan rasa sakit hati saya. Cerpen yang saya temukan itu tidak hanya memuat paragraf pertama cerpen Duniaku, Duniamu, tapi juga mengusung kisah hidup saya di sana. Dan saya menangkap, nada ejekan di sana, nada yang seolah-olah mengolok-olok kisah hidup saya yang mungkin tidak rasional bagi sebagian orang, tapi memang sebenarnya itu kisah nyata saya sendiri tanpa saya buat-buat. Kalau saya bohong, untuk apa saya memberitahu identitas saya yang asli pada orang-orang dunia maya? (Tapi, bukan berarti saya mau memberikan identitas saya pada semua orang. Hanya orang-orang yang sering ngobrol di ym saja yang saya beritahu mengenai identitas asli saya.)


Saya.

Sungguh.

Amat.

Teramat.

Sakit.

Hati.


Entahlah, apa yang akan saya lakukan dengan blog ini setelah ini. Mocchi sudah tidak mau berurusan dengan blog ini, dan saya tidak mau ide saya dimakan bulat-bulat oleh pemfoto-kopi di luar sana. Tapi, saya masih memiliki pilihan.


Pilihan #1:
Saya buat sistem member di sini. Yang bisa membaca cerpen saya hanyalah member saja.

Pilihan #2:
Saya akan menerbitkan cerpen saya di sini, setelah cerpen saya diterbitkan oleh salah satu media cetak.

Pilihan #3:
Blog ini saya tutup untuk selamanya.


Kira-kira pilihan mana yang akan saya pilih?


Wednesday, July 8, 2009

Duniamu, Duniaku (1)

Duniaku adalah bulan yang terkadang bersinar sendirian tanpa bintang di langit, atau seekor serigala yang melolong parau di kegelapan malam. Aku tak menyukai gabungan individu majemuk di dekatku dan mengelilingiku dalam lingkaran yang mencekik leherku dengan tali bernama ‘persahabatan’, ‘hubungan darah’, ‘komunitas yang sama’, ataupun nama lain yang muncul tergantung keadaan. Aku adalah Hawa yang tak membutuhkan Adam, Juliet yang membenci Capulet, dan Snow White yang bermimpi untuk membunuh Sang Ratu. Itulah dunia yang kutinggali, namun tak seorangpun menyadari duniaku.

Aku menduga duniamu lebih indah dariku. Tidak seperti aku yang tinggal dalam ladang rumput yang tandus dan kering, kau tinggal di sebuah istana kaca yang cantik. Kau hidup bermandikan sinar matahari sambil duduk di singgasanamu yang megah, nyaris seperti pangeran dalam negeri dongeng impian. Aku juga yakin sifat kita berbeda seratus delapan puluh derajat, karena kau adalah Adam yang membutuhkan Hawa, Romeo yang mengasihi Montague dan Ben-Hur yang tak pernah memiliki keinginan untuk membunuh Sang Kaisar kejam sekalipun.

Kau seperti malaikat bercahaya yang tinggal di Eden dan aku banshee mengenaskan di dalam kesunyian.

Nyatanya, kau dan aku berbeda.

Kucoba untuk samakan diri denganmu, sama bersinarnya denganmu. Kutaruh lampu-lampu neon di belakangku untuk menipu matamu dengan cahaya imitasi. Tapi, kau selalu temukan celah kegelapan pada diriku dan begitulah kau merumuskan aku dalam catatanmu. Awalnya, aku jengah karena kau membongkar jati cahaya palsuku, tapi semakin lama aku tak peduli. Malah kupecahkan semua lampu neon yang kuciptakan dan kubiarkan kegelapan mengikutiku dari belakang. Kubiarkan kau melihat aku sebagaimana aku ada dan aku tidak peduli.

Kuceritakan padamu apa yang menjadi obsesiku, ketakutanku, penderitaanku, dan semua hal yang tak pernah aku utarakan pada orang lain sebelumnya. Aku menangis, tertawa, marah, malu karenamu. Berjuta rasa muncul membuatku nyaris seperti manusia sepenuhnya, dan dunia tandusku berubah menjadi lembab. Kau di sisiku, aku di sisimu. Cuma itu yang aku butuhkan.

Sekian lama kita bersama, kau mulai mempercayaiku untuk memegang kunci hatimu. Aku terharu, sungguh tak menyangka kalau kau mempercayakan hatimu yang keras bagaikan tembok baja padaku. Hati-hati kuputar anak kunci dan membuka pintu yang kau bangun. Ketika aku masuk, kulihat seorang gadis terkurung di dalamnya. Kucoba melihat ke sekeliling ruang hatimu, mencari jejak orang lain yang pernah menempati tempat itu, tapi ternyata tidak ada. Kau bilang, dari awal sampai seterusnya, hanya akan ada satu gadis itu saja di sana. Tak ada yang lain. Dan tak akan ada yang bisa menggantinya. Aku terhenyak. Bumi yang kupijak berguncang—ataukah itu hanya perasaanku saja? Tubuhku menjawabnya dengan getaran-getaran signifikan yang untungnya bisa kusamarkan.


Aku tak mengenal kau yang sekarang memandang lurus kepadaku. Sesuatu di dalam matamu menusuk dadaku. Keteguhan jiwa yang tak pernah kau tunjukkan sebelumnya selama aku mengenalmu. Aku sembunyikan perasaanku yang sebenarnya dengan memainkan balok-balok es di dalam gelas berisi soda bening. Suasana teduh pepohonan di sekitar kafe di mana aku berada sekarang, membuat diriku tenang secara bertahap.

”Kukira cinta bukan topik kesukaanmu,” aku tertawa ringan sambil menyuapkan balok es ke dalam mulutku. ”Kau bilang cinta tak pernah masuk akal,” ucapku, sedikit menyindir. Aku tahu benar dirimu. Kau menentang semua hal yang tidak bisa dijelaskan dengan teori rasional. Kau tidak percaya Tuhan, makhluk halus dan suratan takdir. Kata-katamu yang setajam pisau daging selalu ditujukan padaku ketika aku menceritakan hal yang ditolak nalar realistismu. Lantas, kenapa orang sepertimu bisa mencintai seseorang ?

”Bukan, Lara. Perasaanku tidak sama dengan cinta yang ada di dalam kamusmu. Kau bahkan memiliki istilah khusus untuk itu. Apa namanya? Umm....chemistry?” aku mengangguk, membenarkan ucapannya.

”Aku tidak seperti itu sama sekali. Perasaanku benar-benar murni datang dari akal sehatku yang sangat mengenal dirinya. Kelemah-lembutan dia, ketegaran dia yang mendorongku untuk menjadi lebih kuat dan keberanian untuk melawan arus. Aku tahu dia orang yang terbaik untukku.”

Sial kau, Siva. Kau mencuri kata-kata yang mengendap di dalam relung hatiku. Seharusnya, kata-kata itu kutujukan padamu. Sifatmu penuh kelembutan yang tidak pernah kutemui di diri seorang laki-laki. Tutur katamu halus dan kau memperlakukan semua orang dengan baik sehingga mereka mencintaimu balik. Badai demi badai yang kau lalui malah membuat sayapmu bertambah lebar dan kokoh, dan di saat yang bersamaan, kau masih sempat-sempatnya menolong aku, membangkitkan diriku yang terpuruk dalam kegelapan. Kau adalah pria terbaik yang pernah kutemui di dalam hidupku. Kau orang yang terbaik untukku.

”Tapi, aku tidak salah. Menurutku, cinta itu chemistry. Satu perasaan yang timbul begitu saja dari hati, tanpa membutuhkan alasan yang jelas, terlepas dari semua yang terlihat oleh mata, terlepas dari kepribadian orang itu sendiri.” kataku, berusaha mengubah arah pembicaraan. Aku benci diriku yang seperti ini, tapi aku lebih benci ketika mendengar mulutmu membicarakan gadis pujaanmu itu. Kau mengucapkan namanya nyaris sama seperti sedang bernafas, seolah kau membutuhkannya seperti udara, dan tidak bisa hidup tanpanya. Matamu selalu pergi berkelana ke ujung samudera, melihat sosok dia yang terekam dalam ingatanmu.

”Lara, aku mengerti apa katamu. Tapi, aku tidak bisa menahan perasaanku lagi,” kau menarik kursimu lebih dekat padaku. Dari wajahmu, kau tampak sangat kesakitan, seolah-olah seseorang telah memukul ulu hatimu. ”Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Aku baca di facebooknya, dia akan menikah tahun ini. Aku berhenti berpikir, aku juga tidak bisa makan karena itu. Bagaimana, Lara? Apa aku sebaiknya mengejarnya langsung ke New York?” aku terkesiap, mencari-cari kata untuk memecah keheningan yang membuatku mual.

”Siva,” lirihku. ”Kenapa kau bertanya padaku?”

Kumohon, air mata jangan keluar.

”Aku tidak tahu harus bertanya pada siapa lagi. Cuma kamu orang yang bisa aku tanyakan.”

Aku tidak percaya. Aku tidak mau menerima semua ini. Citra pria kuat yang menjalani kehidupan kerasnya dengan tegar, merasa bimbang hanya karena seorang gadis. Truk besar seolah menimpa dadaku. Aku merasa sesak.

”Kau tidak perlu bertanya pada siapa-siapa,” aku mendorong kursiku ke belakang dan bangkit berdiri. ”Bukankah kau selalu bilang padaku? Manusia sudah memiliki jawaban di dalam hatinya sebelum bertanya apa yang seharusnya dia lakukan. Kalau begitu, lakukan apa yang hatimu ingin lakukan. Aku tak mau menjadi penghalangmu,” aku buka tas dan menaruh beberapa lembar uang kertas di atas meja, kemudian berbalik, membelakangi dirimu.

”Tunggu, Lara,” teriakanmu membuat gerakanku beku seketika. ”Kapan kita bisa bertemu lagi?”

Ya, satu fakta yang terlupakan. Kau dan aku adalah individu rapuh dan terisolasi dari sosialisasi masyarakat. Aku yang lebih ekstrim, tidak mengijinkanmu mengetahui lebih jauh dari nama panggilanku dan nomor telepon seluler yang selalu kuganti setiap tiga bulan sekali. Kita berhubungan lewat email, untuk menanyakan kabar dan membuat janji untuk melepas rindu. Bilang saja alasan aku melakukan ini karena aku tidak mengijinkan kehidupan gandaku diketahui orang-orang terdekatku.

”Hubungi aku saat musim dingin tiba,” jawabku.

’Musim dingin’ adalah kode khusus di antara kita berdua, artinya saat-saat yang paling membuat kita menderita. Keadaan memaksa kita untuk tidak mempercayakan hati begitu saja pada orang lain. Kau dan aku sama-sama menjadi orang yang tidak pernah mempercayai manusia. Kita telah disakiti dan sudah merasa kapok untuk disakiti lagi. Keluh kesahku tak pernah kutuangkan pada orang lain, begitu juga kamu. Persamaan inilah yang menarik diri kita seperti magnet kutub utara dan selatan. Untuk selamanya, kita akan saling membutuhkan satu sama lain.

Wednesday, June 17, 2009

Seporsi Es Krim Stroberi

Krincing….

Lonceng pintu berbunyi saat seseorang membuka pintu. Aku menoleh, senang melihat dia di sana, melongok sesaat ke sekeliling ruangan sebelum akhirnya tersenyum padaku. Aku memanggilnya dengan lambaian.

“Halo, Cinta. Apa kabarmu hari ini?” Tanya lelaki seksi itu sambil duduk. Tangannya yang usil menyentil pelan daguku. Aku tersenyum menggeleng padanya, mencegahnya menggodaku saat ini karena pelayan yang kupanggil mulai menoleh.

“Seperti inilah akhir bulan...” keluhku, dia hanya menangapi tersenyum enteng. Sementara itu pelayan berhenti di samping kami dan menyorongkan daftar menu
“…tutup buku, neraca saldo, laporan keuangan…”

“Sudahlah!” potongnya sambil melambai bosan, “Bukan hal yang baru kurasa, tapi itu masih tetap membuatmu selalu cantik seperti ini,“ sanjungnya seperti biasa, kerlingan nakalnya juga semakin liar.

Menu enyah sesaat dari pandanganku. Entah mengapa, biarpun aku hapal sifat lelaki ini, aku tidak bisa untuk tidak tergoda padanya. Wajahnya dengan rona kecokelatan karena terbakar matahari, seperti lelehan cokelat yang menggiurkan. Dagunya, yang paling kusukai, seperti belimbing yang renyah. Hidungnya lagi, aduh, kurasa tak akan jadi aku memesan jika selalu menganggumi satu per stau bagian tubuhnya itu.

Aku kembali pada menu, menemukan diriku tiba-tiba haus sesuatu yang sejuk dan manis. Gambar es krim ini rasanya menggiurkan.

“Bagaimana liburanmu, Say? Apa kau merindukanku?” tanyaku sambil mengamati menu.
“Soda diet ya, Mbak!” bukannya menjawab pertanyaanku, dia malah sudah memesan. Taruhan, pelayan cewek disampingku ini pasti berdegup kencang jantungnya saat ini.
“Diet?” cemoohku sambil tertawa pelan dengan cara seanggun mungkin. Hoah, aku selalu menginginkan cara tawa yang seperti putri jepang, walau aku menyadari tawaku malah lebih mirip orang ngantuk, mengingat mataku yang sipit. “Mau kau apakan lagi patahan enam seksimu itu?”

Aku mencoba bergurau, padahal sebenarnya hanya ingin mengalihkan pandang dari pesonanya. Dia, lelaki tampan itu akan selalu menggoda setiap wanita yang ditemuinya.

Tapi sekarang posisinya benar-benar menjengkelkan, bukan menjengkelkan dalam arti harfiah, karena dia selalu manis di mataku. Dia bertopang dagu, posisi maut menurutku, karena jika simetris wajahnya miring, mata wanita yang melihatnya juga ikut miring. Ujung bibirnya naik sebelah, menusuk lesung di pipi kanannya. Gigi gingsulnya sekilas terlihat, syukurnya dia tak punya kumis yang bisa menutupinya.
“Aku selalu merindukanmu, Cinta,” katanya kepadaku. Saat aku mengangkat wajah dengan dahi berkerut, ia memalingkan muka ke arah pelayan. “Uhmm.. seporsi es krim stroberi untuk Nona cantik ini.”

Aku menggeleng, tetap mempertahankan gaya anggunku sambil menaruh menu. “Aku juga mau diet, Say!”

Dia mematahkan argumenku. “Sesekali, melanggar itu hal yang wajar. Lagipula, mau kau apakan lagi gitar spanyolmu itu?” balasnya.

Aku tidak akan dapat menolak tatapan itu, seperti biasa. Aku tersenyum simpul, memasang wajah innocent pada sang pelayan, “Apa boleh buat, Mbak? Si Seksi ini sudah mematahkan dietku dan merangsang nafsu makanku dengan rayuannya,”

Pelayan itu mengangguk. Ia meninggalkan satu lirikan tertarik pada leaki di depanku sebelum pergi dengan dua lembar daftar menu. Reaksi yang wajar!

“Kau belum menjawabku, bagaimana dengan liburanmu?” tanyaku manja sambil memeriksa nail artku. Huhh, menyebalkan! Baru dua hari sudah terkelupas.

“Uhmm.. menakjubkan,“ serunya sambil melonggarkan dasinya. Ia melepas jas kerjanya, “Aku menemukan sepatu cantik berwarna merah, seperti yang kau pakai itu, Cinta,” Jawabnya sambil menendang sepatuku pelan.

Aku balas menginjak kakinya, “Sepatuku bukan untuk ditendang, Say. Tapi untuk dicium.”

Ia menyampirkan jasnya di kursi sebelah, “Sesuatu itu mempunyai banyak sisi jika dilihat secara objektif, sama seperti seorang gadis cantik yang kutemui di Bali,” matanya berkilat-kilat saat menceritakan hal yang terakhir, membuatku cemberut.

Dia mengelus daguku mesra. “Ayolah Cinta, jangan cemburu begitu! Tak ada yang melebihi kecantikanmu sekarang, terlebih membayangkanmu tertelungkup di pasir pantai, dengan bikini yang terlepas di punggung, badan sedikit terangkat…” hayalannya semakin liar, aku bahkan sempat melihat jakunnya naik turun, “Ohhh.. kurasa aku bisa membayangkan gadis itu adalah dirimu, Cinta.”

Aku menimpuknya dengan sehelai tisu, jujur aku tak rela dia membayangkanku dengan pose seronok begitu. Aku tak suka, bukan tak suka tapi tak mau. Karena hayalan itu, hanya milikku pribadi.

“Sabar!” serunya sambil pura-pura cemberut, ia mengamati wajahku lekat. “Itu cuma selingan, seorang pria dewasa itu wajar jika punya selingan. Asalkan…”

“Asalkan apa?” tantangku.

Dia menarik sesuatu dari saku celananya dan meletakannya di atas meja. Sebuah kotak mungil berwarna cokelat mengkilat. Dengan sebelah tangan ia membuka kotak itu, sebuah cincin platina indah bermata hijau mempesona mataku.

Pelayan datang disaat yang kurang tepat menurutku, tapi tak mengapa. Aku tersenyum melihat es krim stroberi yang ditaruhnya pelan-pelan ke hadapanku. Masih setengah berkonsetrasi pada nampan, pelayan itu juga melirik iri pada cincin indah yang berdampingan dengan pas bunga kecil cantik di tengah-tengah meja.

“Ada tambahan lagi?” tanya pelayan itu, setengah mati aku berusaha menahan rasa geli karena melihatnya terus melirik cincin di meja.

Aku menggeleng, pelayan itu kemudian pergi. Dia, si seksi tertawa geli. Dia memperhatikan mataku yang kelaparan oleh dua hal, oleh es krim serta cincin dengan kotak beludrunya itu.

“Lalu, mana yang harus duluan? Itu?” dia menunjuk es krimnya, “atau….” Dia lalu menyentuh kotaknya, menimang dengan wajah serius.

“Tapi sepertinya ini bisa menunggu,” godanya sambil mengelus permukaan cincin.
Aku terpancing dan dengan cepat menggeser water goblet. “Es krim bisa menunggu.”
Ia tersenyum puas, terus saja menimang-nimang kotak itu di meja.

“Asalkan cincin ini diterima di jari manis yang lentik, selingan itu hanya sekedar selingan,” katanya, melanjutkan perkataan yang terputus barusan.

Aku tersenyum geli. Lelaki satu ini memang paling manis kata-katanya. Segala hal yang buruk di lelaki lain, bisa jadi sesuatu yang memabukan jika keluar dari mulutnya.

“Indahkah? Kamu suka?” tanyanya dengan mata berkilat.

Aku menahan nafas. Sebagai makhluk maniak perhiasan, bukan sekali ini aku tergoda. Tanganku mengambang di udara, terpisah beberapa centi dari permukaan mata hijau cincin. Ragu-ragu, tapi tahu tanganku tak akan bisa dikontrol. Si seksi masih tetap menggoda dengan senyum, seakan mengadu aku dengan nafsuku sendiri.

“Kau menyukainya?”

Aku tak tahan. Ujung jemariku sudah menyentuhnya, mungkin sedikit dramatisir jika aku berkata bahwa permukaannya licin sekali, mulus seperti permukaan kulitnya.
“Bagus sekali! Hanya gadis buta yang akan mengatakan cincin ini sebagai bayangan gelap. Aku... aku menyukainya….”

Dia tersenyum puas, “Sekarang lihatlah di balik kotak itu!” suruhnya. “Pelan-pelan, kotaknya terbuat dari cahaya bulan jadi sedikit rapuh,” godanya ketika aku menggenggam kotaknya.

“Tutup dulu kotaknya, baru kamu balik, Cintaku!” tuntunnya lagi, membuat aku merasa seperti anak kecil nakal yang bisa memecahkan apapun yang kusentuh, dan aku membaliknya.

WILL U MARRY ME

Tulisan itu terukir indah, bertinta biru di atas sehelai kertas biru muda. Aku benar-benar terpesona, terharu dan bahagia sampai tidak bisa berkata-kata.

“Jika kau menyukainya, kurasa Jelita juga menyukainya. Kalian mempunyai selera yang sama,” katanya sambil kembali menarik jas. “Jadi.. kau saja yang memberikannya ke dia!”

Aku melepas sedikit rasa haru dan mengernyit walaupun aku tahu kalau seharusnya aku tidak kaget karena memang selalu seperti ini.

“Aku? Kenapa selalu aku? Kau bisa memberikannya sendiri, kan?!”

Ia mengedikkan kepalanya pelan, “Aku terlalu biasa memberikannya lewat kurir,” kelakarnya sambil menaruh selembar seratus ribuan di atas meja. “Cinta, aku terlalu sibuk untuk menemanimu menghabiskan seporsi es krim stroberi, maaf.”

Aku melambaikan tangan enteng, “Sudah biasa seperti itu!”

Dia mengangguk, meninggalkan sebuah sebuah senyum yang mendebarkan sebelum berbalik dan pergi. Aku mengangkat tangan ke arahnya dan memanggilnya, “Saiful.. ingat ya, Jelita memang sahabatku, dan aku mak comblang yang hebat. Tapi kau lupa satu hal, mak comblang juga manusia penyuka perhiasan,”

Dia menoleh, “Soal itu gampang! Aku punya banyak stok untukmu, jika dia sudah menerimaku secara full time!” ujarnya sambil berlalu, membuatku menggeleng geli.

Krincingg…

Lonceng kembali berbunyi saat dia membuka pintu dan menghilang di baliknya. Aku tak melihatnya lagi, mataku terlanjur terpesona dengan cincin ini. Aku tergoda untuk mencobanya melihat di jemariku, tapi sebuah getaran terasa dari tasku. Ternyata handponeku.

“Jelita sayang…” sapaku.

“Cin, apa tulisan di cincinnya?” Jelita langsung bertanya dengan semangat, “Dibawah kotaknya!”

Yeah.. si seksi itu memang penuh kejutan. Moment-moment begini dengan enteng diserahkannya padaku, seseseorang yang dianggapnya kurir. Aku tak heran bagaimana Jelita bisa menebak, lelaki itu menjentikkan tangannya di luar sana, aku melihatnya memasukkan ponsel ke saku kemejanya lewat dinding kaca.

“Cinta…” panggil Jelita keras,

“Iya ya.. dia melamarmu! Will U marry Me, begitu tulisannya.”

Jelita memekik keras, dan aku tak perlu repot-repot menanyakan apakah ia bahagia atau tidak. Semuanya sudah cukup jelas, dan seporsi es krim stroberi ini juga sangat jelas, sama menggodanya daripada barang yang bukan hakku.

“Sebentar lagi akan ada pesta, nih…” aku terkikik, menggeser water goblet ke hadapanku, tak peduli apa Jelita mencak-mencak karena telponnya dimatikan secara tiba-tiba, “Tapi ini juga sebuah pesta yang menyenangkan.”

Aku menyendoknya, krim diatas stroberi itu, memasukannya ke mulut dan hoh… rasanya lebih enak daripada menelan secincin platina. Aku terkikik geli, lagi.