About Me

My photo
Movie-goer, anime maniac, manga lover, K-Music+J'Music's fan, Asia Movier.

Wednesday, July 8, 2009

Duniamu, Duniaku (1)

Duniaku adalah bulan yang terkadang bersinar sendirian tanpa bintang di langit, atau seekor serigala yang melolong parau di kegelapan malam. Aku tak menyukai gabungan individu majemuk di dekatku dan mengelilingiku dalam lingkaran yang mencekik leherku dengan tali bernama ‘persahabatan’, ‘hubungan darah’, ‘komunitas yang sama’, ataupun nama lain yang muncul tergantung keadaan. Aku adalah Hawa yang tak membutuhkan Adam, Juliet yang membenci Capulet, dan Snow White yang bermimpi untuk membunuh Sang Ratu. Itulah dunia yang kutinggali, namun tak seorangpun menyadari duniaku.

Aku menduga duniamu lebih indah dariku. Tidak seperti aku yang tinggal dalam ladang rumput yang tandus dan kering, kau tinggal di sebuah istana kaca yang cantik. Kau hidup bermandikan sinar matahari sambil duduk di singgasanamu yang megah, nyaris seperti pangeran dalam negeri dongeng impian. Aku juga yakin sifat kita berbeda seratus delapan puluh derajat, karena kau adalah Adam yang membutuhkan Hawa, Romeo yang mengasihi Montague dan Ben-Hur yang tak pernah memiliki keinginan untuk membunuh Sang Kaisar kejam sekalipun.

Kau seperti malaikat bercahaya yang tinggal di Eden dan aku banshee mengenaskan di dalam kesunyian.

Nyatanya, kau dan aku berbeda.

Kucoba untuk samakan diri denganmu, sama bersinarnya denganmu. Kutaruh lampu-lampu neon di belakangku untuk menipu matamu dengan cahaya imitasi. Tapi, kau selalu temukan celah kegelapan pada diriku dan begitulah kau merumuskan aku dalam catatanmu. Awalnya, aku jengah karena kau membongkar jati cahaya palsuku, tapi semakin lama aku tak peduli. Malah kupecahkan semua lampu neon yang kuciptakan dan kubiarkan kegelapan mengikutiku dari belakang. Kubiarkan kau melihat aku sebagaimana aku ada dan aku tidak peduli.

Kuceritakan padamu apa yang menjadi obsesiku, ketakutanku, penderitaanku, dan semua hal yang tak pernah aku utarakan pada orang lain sebelumnya. Aku menangis, tertawa, marah, malu karenamu. Berjuta rasa muncul membuatku nyaris seperti manusia sepenuhnya, dan dunia tandusku berubah menjadi lembab. Kau di sisiku, aku di sisimu. Cuma itu yang aku butuhkan.

Sekian lama kita bersama, kau mulai mempercayaiku untuk memegang kunci hatimu. Aku terharu, sungguh tak menyangka kalau kau mempercayakan hatimu yang keras bagaikan tembok baja padaku. Hati-hati kuputar anak kunci dan membuka pintu yang kau bangun. Ketika aku masuk, kulihat seorang gadis terkurung di dalamnya. Kucoba melihat ke sekeliling ruang hatimu, mencari jejak orang lain yang pernah menempati tempat itu, tapi ternyata tidak ada. Kau bilang, dari awal sampai seterusnya, hanya akan ada satu gadis itu saja di sana. Tak ada yang lain. Dan tak akan ada yang bisa menggantinya. Aku terhenyak. Bumi yang kupijak berguncang—ataukah itu hanya perasaanku saja? Tubuhku menjawabnya dengan getaran-getaran signifikan yang untungnya bisa kusamarkan.


Aku tak mengenal kau yang sekarang memandang lurus kepadaku. Sesuatu di dalam matamu menusuk dadaku. Keteguhan jiwa yang tak pernah kau tunjukkan sebelumnya selama aku mengenalmu. Aku sembunyikan perasaanku yang sebenarnya dengan memainkan balok-balok es di dalam gelas berisi soda bening. Suasana teduh pepohonan di sekitar kafe di mana aku berada sekarang, membuat diriku tenang secara bertahap.

”Kukira cinta bukan topik kesukaanmu,” aku tertawa ringan sambil menyuapkan balok es ke dalam mulutku. ”Kau bilang cinta tak pernah masuk akal,” ucapku, sedikit menyindir. Aku tahu benar dirimu. Kau menentang semua hal yang tidak bisa dijelaskan dengan teori rasional. Kau tidak percaya Tuhan, makhluk halus dan suratan takdir. Kata-katamu yang setajam pisau daging selalu ditujukan padaku ketika aku menceritakan hal yang ditolak nalar realistismu. Lantas, kenapa orang sepertimu bisa mencintai seseorang ?

”Bukan, Lara. Perasaanku tidak sama dengan cinta yang ada di dalam kamusmu. Kau bahkan memiliki istilah khusus untuk itu. Apa namanya? Umm....chemistry?” aku mengangguk, membenarkan ucapannya.

”Aku tidak seperti itu sama sekali. Perasaanku benar-benar murni datang dari akal sehatku yang sangat mengenal dirinya. Kelemah-lembutan dia, ketegaran dia yang mendorongku untuk menjadi lebih kuat dan keberanian untuk melawan arus. Aku tahu dia orang yang terbaik untukku.”

Sial kau, Siva. Kau mencuri kata-kata yang mengendap di dalam relung hatiku. Seharusnya, kata-kata itu kutujukan padamu. Sifatmu penuh kelembutan yang tidak pernah kutemui di diri seorang laki-laki. Tutur katamu halus dan kau memperlakukan semua orang dengan baik sehingga mereka mencintaimu balik. Badai demi badai yang kau lalui malah membuat sayapmu bertambah lebar dan kokoh, dan di saat yang bersamaan, kau masih sempat-sempatnya menolong aku, membangkitkan diriku yang terpuruk dalam kegelapan. Kau adalah pria terbaik yang pernah kutemui di dalam hidupku. Kau orang yang terbaik untukku.

”Tapi, aku tidak salah. Menurutku, cinta itu chemistry. Satu perasaan yang timbul begitu saja dari hati, tanpa membutuhkan alasan yang jelas, terlepas dari semua yang terlihat oleh mata, terlepas dari kepribadian orang itu sendiri.” kataku, berusaha mengubah arah pembicaraan. Aku benci diriku yang seperti ini, tapi aku lebih benci ketika mendengar mulutmu membicarakan gadis pujaanmu itu. Kau mengucapkan namanya nyaris sama seperti sedang bernafas, seolah kau membutuhkannya seperti udara, dan tidak bisa hidup tanpanya. Matamu selalu pergi berkelana ke ujung samudera, melihat sosok dia yang terekam dalam ingatanmu.

”Lara, aku mengerti apa katamu. Tapi, aku tidak bisa menahan perasaanku lagi,” kau menarik kursimu lebih dekat padaku. Dari wajahmu, kau tampak sangat kesakitan, seolah-olah seseorang telah memukul ulu hatimu. ”Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Aku baca di facebooknya, dia akan menikah tahun ini. Aku berhenti berpikir, aku juga tidak bisa makan karena itu. Bagaimana, Lara? Apa aku sebaiknya mengejarnya langsung ke New York?” aku terkesiap, mencari-cari kata untuk memecah keheningan yang membuatku mual.

”Siva,” lirihku. ”Kenapa kau bertanya padaku?”

Kumohon, air mata jangan keluar.

”Aku tidak tahu harus bertanya pada siapa lagi. Cuma kamu orang yang bisa aku tanyakan.”

Aku tidak percaya. Aku tidak mau menerima semua ini. Citra pria kuat yang menjalani kehidupan kerasnya dengan tegar, merasa bimbang hanya karena seorang gadis. Truk besar seolah menimpa dadaku. Aku merasa sesak.

”Kau tidak perlu bertanya pada siapa-siapa,” aku mendorong kursiku ke belakang dan bangkit berdiri. ”Bukankah kau selalu bilang padaku? Manusia sudah memiliki jawaban di dalam hatinya sebelum bertanya apa yang seharusnya dia lakukan. Kalau begitu, lakukan apa yang hatimu ingin lakukan. Aku tak mau menjadi penghalangmu,” aku buka tas dan menaruh beberapa lembar uang kertas di atas meja, kemudian berbalik, membelakangi dirimu.

”Tunggu, Lara,” teriakanmu membuat gerakanku beku seketika. ”Kapan kita bisa bertemu lagi?”

Ya, satu fakta yang terlupakan. Kau dan aku adalah individu rapuh dan terisolasi dari sosialisasi masyarakat. Aku yang lebih ekstrim, tidak mengijinkanmu mengetahui lebih jauh dari nama panggilanku dan nomor telepon seluler yang selalu kuganti setiap tiga bulan sekali. Kita berhubungan lewat email, untuk menanyakan kabar dan membuat janji untuk melepas rindu. Bilang saja alasan aku melakukan ini karena aku tidak mengijinkan kehidupan gandaku diketahui orang-orang terdekatku.

”Hubungi aku saat musim dingin tiba,” jawabku.

’Musim dingin’ adalah kode khusus di antara kita berdua, artinya saat-saat yang paling membuat kita menderita. Keadaan memaksa kita untuk tidak mempercayakan hati begitu saja pada orang lain. Kau dan aku sama-sama menjadi orang yang tidak pernah mempercayai manusia. Kita telah disakiti dan sudah merasa kapok untuk disakiti lagi. Keluh kesahku tak pernah kutuangkan pada orang lain, begitu juga kamu. Persamaan inilah yang menarik diri kita seperti magnet kutub utara dan selatan. Untuk selamanya, kita akan saling membutuhkan satu sama lain.